Susah Senang Jadi Guru Dadakan

Jadi guru bukanlah cita-cita saya, bahkan sama sekali nggak terfikir untuk jadi guru sebelumnya, apalagi guru sekolah dasar. Bukan karena saya nggak suka berbagi ilmu atau saya nggak suka anak-anak, tetapi lebih kepada saya merasa belum sanggup untuk menjadikan guru sebagai profesi tetap saya. Saya termasuk salah satu orang yang "money oriented". Jangan diasumsikan ke hal negatif dulu yaa. Maksud saya disini adalah, memulai karir sebagai guru berarti siap untuk bekerja secara suka rela tanpa memikirkan berapa "hasil" yang akan kita dapat. Inilah kenapa beberapa teman-teman saya yang jadi guru pun sekarang pindah profesi.

Cerita soal susahnya memulai karir sebagai guru sering saya dengar dari kakak-kakak kelas atau tetangga yang lebih dulu lulus sarjana pendidikan, apalagi di daerah saya yang mana mencari tempat untuk mengajar saja susah kalau nggak pakai "orang dalam". Lebih lagi kalau masih jadi guru honorer, untuk dapat gaji diatas satu juta perbulan pun susah. What ? sudahlah nggak usah pura-pura kaget, pasti kalian udah tau soal ini. Itulah kenapa saya milih untuk main aman aja.


Tapi beberapa bulan kemarin, saya berkesempatan mengajar anak anak sekitar rumah saya. Bukan mengajar formal, tetapi lebih kepada belajar dan bermain bareng. Jadi dari bulan februari saya sudah resign dari kantor, karena sudah diterima kerja di perusahaan baru, tetapi karena keberangkatan kerjaan baru di undur jadilah masa nganggur saya makin panjang banget, hampir 5 bulan saya  bakal nganggur dirumah. Bosen banget pasti, disitu saya mikir untuk cari kegiatan lain. Kalau kerja short term ngga ada perusahaan yang mau. Mulailah kepikiran buat buka kursus ala-ala buat anak daerah saya secara free untuk mapel matematika dan bahasa inggirs. Karena niat awalnya emang cuma buat ngisi waktu doang. Dua tiga anak gapapa lah, nggak ribet pikir saya. Disini saya ada 2 kelas seminggu 2hari untuk masing masing kelas, satu kelas untuk anak SD dan satu kelas untuk SMA. Jadi total dalam seminggu saya mengajar 4 hari.

Ternyata hari pertama mengajar emang diluar ekspektasi, 11 anak dateng dengan antusias dengan bawa buku pelajaran lengkap, dan mereka bukan dari kelas yang sama. Disitu saya mikir harus mulai dari mana, karena saya nggak pegang kurikulum. Okelah, hari pertama saya dimulai dengan bincang-bincang soalnya metode belajar dan materi yang akan dibahas, dimulai dari awal saja udah cukup bikin pusing. Pertanyaan dan pernyataan ajaib muncul dari anak-anak yang rata-rata masih kelas 3 atau 4 ini. Disini saya belajar membaca karakter setiap anak, ada yang cepet dan lambat nerima materi, ada yang malu malu, ada yang sedikit nakal dan ada yang mulai centil-centil karena udah menginjak ABG.
Dari pertemuan pertama saya belajar kalau anak-anak emang lebih cepat bosen kalau dikasih materi yang monoton dan gitu-gitu aja. Jadi dipertemuan selanjutnya saya kasih selingan dengan macam-macam games dan hadiah barang-barang kecil semacam penghapus atau pensil and they enjoyed it very much. Selain itu, sesekali saya memutar film animasi pendidikan yang saya dapat dari youtube, dan lagi menurut saya ini efektif dan lebih mudah diterima.

Selama 3 bulan mengajar saya belajar banyak hal dari kegiatan ini. Benar-benar hal baru buat saya untuk mengajar apalagi tanpa kurikulum, tiap hari saya belajar materi dari buku mereka dan membuat modul yang menurut saya ngga mudah, maklum lah ya, saya bukan sarjana pendidikan. Susah bagi saya untuk meramu kata-kata dan angka untuk lebih dapat dimengerti anak-anak. Dan juga saya harus menahan emosi dan menaikkan level kesabaran. Sekali lagi, karena setiap anak berbeda karakter, gimana cara kita mengajar anak yang belum bisa baca tulis berbeda dengan anak yang lebih cerdas dari rata-rata anak kebanyakan. Yang mana beberapa anak butuh diajari berulang-ulang, dan sebagian lagi bosan karena pengulangan materi.
Dari mereka, sebelum saya berangkat ke Jeddah
Dan yang paling menantang sekaligus mengharukan adalah, salah satu anak didik saya ada yang berkebutuhan khusus. Tuna rungu sejak lahir dan otomatis tunawicara. Duh, bakal jadi tugas berat nih, saya sama sekali ngga bisa bahasa isyarat dan nggak tau cara berkomunikasi dengan  anak ini. Infonya, bukan bahasa isyarat resmi yang dipakai untuk komunikasi dengan dia, tapi isyarat yang bisa dia pahami yang biasa dia pakai sejak kecil. Makin pusing lah saya, dalam hati i will try my best entah dia ngerti apa nggak gapapa lah.
Awalnya saya sempat kaget karena ternyata dia bisa menulis dengan baik. Saya tanya teman sekelasnya gimana cara dia belajar? katanya dengan bahasa isyarat dari gurunya dan teman-temannya (salut untuk bu guru). MasyaAllah, semua anak yang belajar dengan saya bisa berkomunikasi dengan dia dengan amat sangat baik, bahkan apa yang saya sampaikan dengan mudah diterima karena semua anak mentranslate kedalam bahasa isyarat yang dia mengerti. Bahkan mereka ketawa-ketawa seperti nggak ada batasan komunikasi apapun. Terharu banget. Ini salah satu hal yang saya sangat syukuri  terlahir dikampung, lingkungan dan teman-teman yang baik untuk berkembang. Sawah, jalanan, kebun jadi playground. Nggak ada gadget nggak sedih. Nggak ada game online nggak ngamuk. Nggak ke mall nggak masalah.
That's it, mulai dari sini saya mengerti gimana susah senangnya jadi guru. Yang awalnya saya under estimate untuk profesi ini, sekarang saya angkat topi setinggi-tingginya untuk para guru. Kita bukan apa-apa tanpa guru. Someday, saya juga bakal jadi guru, why not ? bukankan salah satu amalan yang tidak terputus pahalanya adalah "ilmu yang bermanfaat" ?
Terima kasih untuk bapak dan ibu guruku.....

No comments